Perkembangan olahraga renang di Hindia Belanda terus berlanjut. Setelah Gelombang Organisasi di kota-kota besar, tahun 1917 menjadi saksi pembentukan Federasi Renang regional yang lebih luas: West Java Zwembond dan Oost Java Zwembond. Ini adalah langkah maju yang signifikan, menunjukkan upaya pengukuhan dan standarisasi olahraga air di Pulau Jawa, meskipun masih dalam kerangka kolonial.
Pembentukan Federasi Renang ini didorong oleh kebutuhan untuk mengoordinasikan kegiatan di berbagai kota. Dengan adanya perkumpulan renang di Bandung (Bandungse Zwembond 1917), Jakarta, dan Surabaya, diperlukan sebuah payung organisasi untuk mengatur kompetisi dan pengembangan secara lebih terpusat.
West Java Zwembond mencakup wilayah Jawa Barat, sementara Oost Java Zwembond mengelola Jawa Timur. Kehadiran dua Federasi Renang ini menandakan formalisasi struktur olahraga yang lebih besar, bukan lagi sekadar perkumpulan lokal yang berdiri sendiri.
Tujuan utama mereka adalah meningkatkan standar kompetisi dan pelatihan. Dengan adanya federasi, aturan bisa diseragamkan, dan jadwal pertandingan dapat diatur lebih baik. Ini adalah langkah penting untuk membuat olahraga renang lebih terstruktur di wilayah tersebut.
Meskipun ini adalah kemajuan dalam organisasi, Sejarah Gelap Kolam Renang dengan diskriminasi masih tetap ada. Keanggotaan dalam Federasi Renang ini dan partisipasi dalam kompetisinya sebagian besar terbatas pada kalangan Eropa dan bangsawan pribumi.
Cikal Bakal Renang Indonesia ini, meskipun elitis, secara tidak langsung menciptakan fondasi. Mereka memperkenalkan sistem kompetisi, pencatatan rekor, dan pengembangan teknik renang yang kemudian akan diadopsi dan diperluas setelah kemerdekaan.
Organisasi Renang di tingkat provinsi ini juga menjadi jembatan bagi para perenang berbakat untuk berkompetisi di tingkat yang lebih tinggi. Mereka dapat mewakili wilayah mereka dan bahkan berpotensi mengikuti kompetisi nasional atau internasional yang terbatas.
Keberadaan dua Federasi Renang di Jawa menunjukkan bahwa olahraga renang telah mendapatkan tempat yang lebih serius dalam agenda rekreasi dan olahraga kaum kolonial. Ini bukan lagi sekadar hobi, melainkan aktivitas yang terorganisir dengan baik.
Namun, ini juga menegaskan bahwa pengembangan olahraga masih berorientasi pada kepentingan penjajah. Potensi perenang pribumi yang tidak memiliki akses ke fasilitas dan perkumpulan ini masih belum tergali sepenuhnya, terhalang oleh diskriminasi.